Laptop
udah mati dan terlipat kurang lebih 3/4 jam yang lalu. Suara motor dan
mobil sudah mulai senyap, menanda hari sudah masuk pukul 10 malam.
Sheilla on 7, Samsons, Bondan dan beberapa lagu dari band-band jaman
smp-sma ku terdengar dari handphone oppo berusia 1 setengah tahun ini.
Niat ku ingin tidur lebih awal setelah belajar tadi, urung seketika saat
aku membaca deretan postingan di Instagramku. "Turut Berduka Cita",
headline yang banyak muncul saat itu. Sebelumnya, hari ini ada 4 berita
besar yg meramaikan timelineku, dari politik dan olahraga, salah satunya
"derby" klasik sepakbola negeri ini, Persib melawan Persija, yang
memang euforianya begitu terasa dikota ini. Awalnya tak ada yg lebih
dari event tersebut, dimana pertandingan berakhir dengan kemenangan tim
kota ku. Namun, detik ketika aku membaca berbagai postingan duka
tersebut, memberitahukan bahwa "ada yang lebih besar" daripada
kemenangan itu. Yak, ucapan duka tersebut ternyata ditujukan pada salah
seorang suporter tim lawan yg meninggal dianiaya puluhan bahkan ratusan
orang diarea stadion. Ah, klasik tentu dinegeri ini, hal semacam
tersebut.
Seketika aku termenung, apakah sebuah nyawa dapat dihargai? Ataukan sebuah nyawa tidak lebih besar dari ego dan euforia?
Sudah
terlalu banyak, kabar tentang nyawa yang melayang "secara paksa" di
negeri ini. Negeri, yang katanya penuh kedamaian, sejuk dan indah alam
budayanya, ketika tuturnya yg ramah menjadi sebuah kebanggaan yang
selalu digaungkan kepada mereka, asing yang memandang.
Kita
tidak berbeda teman. Aku, kamu dan dia itu sama. Kita percaya akan
indahnya pertiwi ini bukan? Kita bersatu ketika nama negara ini dihina
bukan? Lalu kenapa? Kenapa harus terjadi waktu, dimana kalian membutakan
diri dan merampas nafas melebih yang kuasa?
Aku
adalah pribadi yang percaya, bahwa nyawa tidak dapat diganti oleh
apapun. Sebuah nafas yg dihembus kepada raga, oleh yg kuasa itu begitu
berharga.
Kera saja begitu segan terhadap sebuah nyawa, apalagi kita, tak malukah hei kamu turunan hawa?
Ketika
sebuah denyut dirampas dari tubuh, detik itu pula kau tak lebih dari
kotoran kera. Ketika dengan bangga kau menghentikan riwayat, itulah saat
dimana kau jauh lebih hina daripada apapun yang pernah terjelas dalam
kata.
Sungguh, Kemanusiaan lebih dari apapun.
Komentar
Posting Komentar