Indonesia tanah air beta...
Pusaka abadi nan jaya...
Indonesia sejak dulu kala...
Slalu di..puja-puja bangsa...
Disana..tempat lahir beta...
Dibuai dibesarkan bunda...
Tempat berlindung dihari tua...
Sampai akhir menutup mata...
Sunggu indah tanah air beta...
Tiada bandingnya di dunia...
Karya indah Tuhan Mahakuasa..
Bagi bangsa yang memujanya
Indonesia ibu pertiwi...
Kau kupuja kau kukasihi...
Tenagaku bahkan pun jiwaku...
Kepadamu rela kuberi...
Pernah mendengar lagu diatas? ah kurasa hampir semua kita, manusia yang dilahirkan bahkan besar di tanah Indonesia ini sudah pernah mendengar atau bahkan menyanyikan alunan lagu tersebut. Lagu yang indah, dengan lirik sederhana namun berat jika kita telisik lebih dalam...bermakna.
Sssst..tapi tunggu dulu, dari untaian lirik tersebut, benar ga sih semuanya memang pantas diucap, jujur dari hati dan tanpa membohongi nurani? Hmm....atau itu hanya ungkapan basa-basi, pujian kosong yang dibungkus gaya bahasa hiperbola semata?
Ah, rasanya terlalu lancang untuk mengatakan lagu ini hanya mengandung rangkaian kata hiperbola belaka. Masakah ketika seorang Ismail Marzuki mencipta hanya untuk sebuah yang fana?
Namun, memang mungkin nyatanya tidak semua dari kita merasa petikan lagu tersebut bermakna jujur dan mungkin malah sebagian terasa berat ketika diucap dari bibir ini, berat dan penuh keraguan ketika semua diuntai suara ini.
INDONESIA...sebuah negara sekaligus bangsa yang katanya besar, bukan hanya dari luas wilayahnya, bukan hanya dari jumlah penduduknya, tapi juga dari sejarahnya dan jauh daripada itu ada sebuah RASA yang memang besar, tak terjelaskan, tak tergambarkan, diam, bernaung, menghidupi setiap sisi jiwa manusia yg didalamnya mengalir darah Indonesia. Benarkah??
Tanah air beta...ah terlalu intim untuk sebuah kata, namun pantaslah dituju untuk menunjukkan keberpunyaan diri atas wilayah ini. Negeri yang subur, katanya. sebuah kenyataan yang malah menjadi sindiran, ketika dengan luas teritori yang sebesar ini dan status agrarisnya kita masih mengimpor bulir-bulir beras dari luar sana. Negeri yang indah, sebuah pujian yang kemudian menjadi kesia-siaan, ketika sebuah indeks kebahagian menyatakan bahwa tingkat kebahagiaan kita yang berada diurutan papan bawah dari negara-negara lain, terlebih sebuah kenyataan bahwa sebagian besar keindahan tersebut belum diolah maksimal atau bahkan terabai.
Kenyataan lainnya, kita harus senantiasa menghadapi fakta bahwa Negeri ini tidak lagi sebersih, seperti saat ketika kita melantunkan untain lirik diatas, dimana kita harus didengarkan, dipaksa terima dan suruh menghadapi permasalahan berkenaan dengan Negeri ini, Bangsa ini. Korupsi, Terorisme, Kejahatan dimana-mana, ah terlalu biasa dan mungkin sudah hakikat terjadi di bangsa ini.
Namun, ada sesuatu yang lebih daripada itu, ketika kuasa di negeri ini menjadi sebuah mimpi yang sangat membutakan, sangat menarik dan melupakan orang-orang akan natur dan hakikat negerinya ini. Ada yang merebut, ada yang menjatuhkan, ada yang mencoba bertahan. Saling serang sudah komsumsi media, yang kemudian disajikan dengan sedikit bumbu yang memberi kesedapan sesaat untuk para penikmatnya, rakyat biasa yang mungkin tidak tau fakta, buta akan arah, lupa akan sejarah. Ah, media..seandainya kau ingat, bahwa "penyedap" bukanlah sesuatu yang baik, nikmat sesaat yang membuat bodoh kedepan. Ya, ketika semua itu kau sajikan dengan tambahan "penyedap", ketika itu juga kau menggerogoti sisa-sisa kecerdasan bangsa ini, kau sisakan kebodohan yang kemudian akan pecah menjadi sebuah keributan, kekosongan yang melengking.
Ah, kalian yang salah kaprah mengenai kuasa. Kalian yang dibuat lupa oleh godaan. Kalian yang menjual bhineka menjadi senjata. Saling menjatuhkan, saling mengahajar satu dan lainnya, haha seperti menonton tawuran SMA saja.
Agama, yang dulu menjadi pedoman dalam berbuat kebaikan dan menjadi alasan ketentraman negeri ini, sesaat menjadi penyebab kekacuan. Jual sana, jual sini, semua menjadi candu agama, buta kebenaran. Bodoh, ditambah karena "penyedap" yang menyedapkan sesaat tadi.
Kemudian muncullah istilah Pribumi dan non pribumi, ah seperti membaca buku sejarah SMP saja, Bab berapa aku juga lupa, disaat ketika VOC mulai menginjak sebuah titik di wilayah teritori negara ini sekarang. Ah,tidak lah penting itu, yang perlu disoroti adalah kenapa harus ada penyekatan tersebut? bukankah Negara ini luas? bukankah kau sadar, negara ini tidak didiami satu suku saja? satu agama saja? .
Hei bung, jadi siapakah yang kau anggap pribumi itu? Melayu kah? hei bagaimana dengan Papua? dan jangan lupa Dayakpun juga manusia negeri ini. Arab ? ah bung, negara ini sudah terlalu panjang sejarahnya ketika seorang manusia Indonesia berdarah arab kau definisikan sebagai pendatang, pun demikian dengan Chinese atapun India bahkan Afrika sekalipun kalau ada. Bukankah melayu juga berasal dari Mongol ? haha sudah terlalu lucu dan bodoh memang ketika semua dibutakan.
Negeri ini indah, negeri ini damai, setidaknya itulah yang kuterima dari kecil dan mungkin masih kuyakini sampai sekarang. Dan mungkin juga perlu untuk diingat, ada campur tangan Tuhan ketika negera ini diizinkan untuk terbentuk, setidaknya ini harus kau yakini, kecuali kau bukanlah seorang theis, itu tidak masalah, karena kau bisa menyakini bahwa memang ada darah yang tercurah untuk negeri ini dari dahulu, dan itu harus dihargai.
Sore ini, ketika aku sedang duduk sambil mendengar alunan musik dari sebuah situs web besar asal negerinya kolonel Sanders bernama Youtube, tanpa sengaja yang berarti tidak direncana, membran timpaniku bergetar ketika sebuah gelombang dengan tingkat tekanan suara dan frekuensi tertentu mengenainya. Sebuah lagu yang membuatku sedikit merenung dan akhirnya sedikit renunganku akan hal itu kutuliskan disini. Terlepas dari opiniku yang terkesan asal, lebay atau apapun kesan yang muncul di dalam kepalamu ketika membaca rangkaian huruf ini, ada hati yang rindu untuk bangsa ini, ada hati yang sedih dengan kenyataan yang terjadi, yang kemudian menggerakkan sepuluh jemari tanganku untuk saling bergantian mengetuk beberapa kotak bergambarkan huruf-huruf dan tanda baca serta angka diatas komputer jinjingku. Jangan kau tanya kenapa bukan jari kaki, aku tau kau IQ mu sudah cukup menggambarkan bahwa kau bisa menjawabnya, karena kau anak Indonesia yang membaca tulisan berbahasa Indonesia dan terlebih kau adalah manusia dengan segala kebiasaan manusianya, termasuk menulis dengan tangan. Ya, kecuali kau sudah terkontaminasi "penyedap" dan kau menjadi bodoh, aku harap sih tidak, karena Indonesia masih butuh kau, mereka, kita, untuk menggenapkan isi lagu curahan Ismail Marzuki ini yang kuyakini adalah hakikat Indonesia sendiri.
Dan tentunya juga untuk menjawab pertanyaan yang mungkin para pengkritik yang kerjanya hanya bisa mengkritik, mengeluhkan sambil memandang sinis dan bertanya...
"Benarkah Negeri ini masih dipuja-puja ?? benarkah manusia-manusia yang melantunkan ini masih berharap negeri ini menjadi tempat berlindung dihari tuanya ?? Benarkah, masih ada tenaga yang tulus diberi bahkan katanya jiwa, untuk negeri ini ??"
Dan sampai akhirnya nanti kita bisa menjawab, YA..BENAR...
(RAA)
Komentar
Posting Komentar