Munculnya kamu dalam peraduan hidup.
Mengejutkanku akan alur takdir.
Berdiam kamu dalam pagi yang dingin.
Menanti surya yang kan meninggi.
Baik-baik saja, Ia.
Merasakan hangat mentari. Menikmatinya.
Cukup lama, sampai meninggi sang surya.
Mulai beranjak, mencoba properti hidup yang dihadiahi takdir.
Satu persatu, hingga dua tiga dan selanjutnya.
Mulai bermain, memunculkan gambar dalam anganmu.
60 derajat diufuk timur sana cahaya memantau.
Menjadi saksi bangunnya ambisi tak terarahmu.
Buah sekitar yang menusuk dalam pikirmu.
Terasa luas, namun sempit. Sungguh.
Tertutup segala batas. Dikelilingi kebiasaan.
Sampai kamu punya asa. Siap tuk dituliskan.
Tinta hidup yang masih cukup.
Ujung pena yang siap digoreskan.
Mulai dari mana? tak ada yang arahkan.
Kamu bingung, aku dan ia hanya mengikutimu.
Sampai tepat diatas kepala.
Nafas terengah. Mata yang menyayu.
Bukan. Bukan karena waktu. Karena memang belum waktunya.
Takdir yang bias, jiwa yang buta. Ya! karena ia!
Tersadar disetengah lintasan waktu.
Membuatmu terluka. Pedih. Takut.
Bolak balik kau membuka lembar itu.
Melihat, memastikan tak salah arah.
Tapi aku berkata, jangan.
Lupakan jalurmu. Pekakan hatimu.
Lihat, sekarang sudah pukul satu.
Jangan tertelan waktu.
Maka kau terus berjalan.
Sambil basah oleh sisa sekresi kehidupan.
Banyak Senyum. Namun apakah semua tulus?
Banyak harap. Namun apakah semua nyata?
Kau tersakiti. Tapi kau menikmati.
Kau dibodohi. Tapi kau mengamini.
Kau dikhianati. Dan kau memberi izin.
Tak apa. Kusuruh kau untuk jadikan itu jejakmu.
Semua yang telah dilewati menjadi bekas bahwa kau ada.
Tak apa. Bila memang sudah terjadi.
Semua itu menjadi bukti. Bahwa kau pernah menapaki hari dan juga hati.
Kian bergulir.
Pukul berapa sekarang? kau bertanya.
Aku pun tak tau. Tapaki sajalah itu.
Sampai kau temukan ujung semesta.
Hingga dapat kau rangkum semua menjadi sebuah kesimpulan.
Kamu berharga dan sadari itu.
Hingga senja datang.
Aku dan kamu memandang ke ufuk barat.
Kuning kemilau indah menjadi hadiah.
Kehidupan yang berjalan meski tak selalu berhasil.
Karena menjadi kamu, sudah menjadi sebuah harga yang mahal bagiku.
Aku adalah jiwamu. Bebicara pada mu. Untuk Aku.
Bandung, 23/02/19.
Untuk Aku.
Komentar
Posting Komentar