Hujan selalu berhasil membawaku untuk merenung. Apapun, mengalir seperti derasnya air yang turun dari atas sana, menggenang dan membuatku kembali mengenang.
Sebelum kutuliskan renunganku itu, izinkan aku membawamu masuk kedalam ceritaku terlebih dahulu, agar kau merasa ada disisiku mengamatiku dan ceritaku.
Ini hari ke 8300an yang kulalui dalam hidup ini. Kuhabiskan hariku ini dengan berbagai hal. Ujian dipagi hari, bersosialisasi bersama makhluk-makhluk lab yang sudah menemaniku lebih dari setengah tahun ini, mengurusi beberapa urusan administrasi perihal penelitianku, bermain video game bersama teman sejawat, hingga melanjutkan penelitianku yang sudah 2 bulan ini tidak berprogress jauh. Tentu semua tidak kulakukan secara bersamaan. Semua bergantian, hingga akhirnya malam tiba.
Kusegerakan menyelesaikan agendaku di lab pada hari itu, tersisa aku sendiri didalamnya, hingga tepat saat aku akan beranjak, tiba 2 orang lain yang sepertinya akan lembur malam ini. Kusampaikan kata pamit, dan kuarahkan langkahku menuju parkiran motor, kebetulan hari itu aku parkirkan di bagian belakang kampus ini, saraga.
Kulewati lorong dan jalanan yang tampak sepi pada malam itu, hari pertama puasa, pikirku, pastilah orang-orang sedang sibuk bersiap untuk menunaikan panggilan Tuhannya, sehabis berbuka sejam yang lalu. Udara sangatlah lembab, entah berapa nilai humidity ratio nya pada malam itu, sampai titik air kurasa mencium pucuk kepalaku dengan bertubi. Beruntung, pikirku. Aku belum sampai ke parkiran, atau bahkan mengendarai motorku. Pastilah akan sangat kuyub, jika saja hujan ini turun sedikit telat. Sambil berjalan didalam tunnel yang menghubungkan wilayah kampus dan kompleks olehraga dimana motorku kutitip, kuputuskan untuk duduk menanti saja nanti saat aku sudah berada di tepi tunnel ini, hingga hujan ini berhenti.
Dan, tibalah aku disebuah kantin yang terlihat cukup rapi hari ini, efek puasa mungkin. Kududukkan diriku disebuah kursi bermeja, diposisi paling ujung, agar dapat memandang rintik dimalam itu.
Aku hanya sendiri, cukup gelap. Benakku mulai bermain dengan inisiatifnya. Dengan hujan sebagai impulsnya, ia memberi respon yang sudah dapat kutebak sebelumnya. Nostalgia hidup yang terputar dalam benak. Episode malam ini adalah tentang berubah. Berat? tidaklah, aku sudah cukup lelah saat itu, bercampur kesal dengan berbagai hal yang terjadi hari itu, jadi hampir tidak mungkin lobus-lobus di batok kepalaku ini ingin bekerja lebih lagi, termasuk memikirkan hal yang berat.
Dihadapanku terpampang sebuah lapangan bola standar. Sudah berubah ia, dari pertama kali saat aku menginjakkan kakiku dengan tanpa segan di atasnya, yang hanya berbalutkan rumput di tepian sisinya. Kini ia tampak cantik, elegan sebagai lapangan bola standar yang kerap digunakan latihan oleh salah satu klub nasional.
Sudah hampir 4 tahun. Tentu hal yang lumrah suatu hal berubah dalam durasi yang selama itu. Bukan hanya lapangan itu, banyak sisi dikampus ini juga berubah, baik bentuknya, ataupun fungsinya. Lalu muncul pertanyaan pada diriku, apakah aku juga ikut berubah selama durasi tersebut?
Coba kurenungkan, sambil kuputarkan ingatan tentang diriku, dari yang dulunya berbalut putih abu-abu lengkap, sambil berdiri ditengah lapangan itu, dengan lantang meneriakkan salam ganesha bersama 3600an mahasiswa baru lainnya. Dan sekarang berbalutkan kaos ditutupi jaket coklat, berstatus mahasiswa tingkat akhir, dan sedang duduk termenung didalam malam yang lembab sebab hujan.
Ya, banyak yang berubah. Penampilan, pergaulan, gaya hidup, hingga pola pikir. Semua perubahan yang kupikir datang dari tempaan lingkunganku, kampus ini. Namun, apakah perubahan-perubahan ini membawaku kearah yang lebih baik? layaknya perubahan-perubahan dikampus ini, yang menjadikan kampus ini semakin indah, semakin maju.
Terkadang kita terlalu enjoy dengan arus yang membawa kita. Hingga tak sadar kita sudah meninggalkan jauh patok yang kita tanamkan diawal sebagai titik mula. Tanpa sadar kita berubah, dalam banyak hal. Tentu tidak salah. Hidup adalah berbicara mengenai perpindahan bukan. Berpindah dari satu waktu-ke waktu yang lain, satu tempat ketempat lain, satu orang ke orang yang lain, hingga satu tujuan ke tujuan yang lain. Tidak ada yang salah untuk itu semua. Proses yang terjadi yang menuntut, dan tentu kita harus melangkah. Semua berhak berubah, meski mungkin ada yang tak rela. Tak mengapa, kau adalah nakhoda kapal hidup mu, arahkan sesukamu kemana kau mana. Tapi jaga dirimu agar tetap dalam kondisi layak untuk mengendali. Dan, jika kau merasa sudah cukup jauh, berhentilah sejenak, coba lihat kebelakang, seberapa jarak yang kau cipta, seberapa puas kau akannya. Atau kau malah menyesal, untuk jarak yang sudah terlalu jauh namun salah, atau kau tersadar kau melangkah tak sejauh yang kau ingin. Tak apa, justru untuk itulah kau berhenti, mengevaluasi dirimu oleh dirimu sendiri. Seperti aku malam ini.
Banyak hal yang menjadi badai didalam benakku sesungguhnya, namun tak usahlah kusampaikan. Cukuplah ia menjadi alarm bagiku, yang ribut, mengganggu, hingga kulempar kedalam perapian untuk kemudian menjadi bahan bakar.
Bandung, 6/05/19
Komentar
Posting Komentar