Tadi siang aku sedang dalam perjalanan menuju ke Cihapit, sampai butiran air tiba-tiba turun dari atas dan membubarkan keramaian di jalanan Surapati. Beberapa motor tampak tetap melanjutkan lajunya, ah ternyata mereka sudah lebih siap menggenakan jas hujan untuk menutupi tubuh mereka terlebih dahulu sebelum rintik ini datang. Selebihnya yang tampak tetap melaju adalah mobil-mobil pribadi dan beberapa bus pariwisata yang cukup lumayan jumlahnya hari itu.
Kuputuskan menepi disebuah gerbang masuk sebuah kantor yang cukup besar dan tentunya teduh. Sudah terdapat puluhan motor terparkir didepannya, memaksaku memarkirkan motorku sedikit lebih ketengah bahu jalan. Hujan siang itu sangat deras, cukup untuk mengalirkan debit air yang besar dan menutupi permukaan-permukaan yang sedikit lebih rendah dibanding sekitarnya.
Kupilih tempat yang agak tinggi, agar sepatuku aman dari genangan air tersebut. Semakin lama tempat tersebut semakin ramai saja, dan sekilas jalanan yang tadinya penuh kendaraan tampak menjadi sangat sepi, hanya dua tiga mobil melintas dalam beberapa detik, ya paling tidak cukup lengang untuk sebuah jalan protokol di kota ini.
Hujan tak kunjung berhenti, setelah kulirik jam ditanganku, ternyata sudah nyaris 15 menit aku berada disana, bersama puluhan manusia-manusia yang tak kukenal yang tidak sengaja terkumpul akibat hujan siang ini. Hujan semakin deras saja, cuaca semakin dingin seperti biasanya saat kota ini diguyur hujan. Kuputar pandanganku ke sekeliling yang ternyata kuabaikan dari tadi. Cukup beragam ternyata manusia-manusia disekitarku ini, mahasiswa, pekerja, ojek online dan penumpangnya, dll. Pun dengan bawaanya, dari tas biasa, sampai sarang burung dan vacum cleaner. Ya vacum cleaner, tapi kuputuskan untuk tak peduli dan memikirkannya. Diantara mereka ada yang berbincang dengan teman yang pergi bersamanya, ada yang sibuk memainkan telepon genggamnya tak tahu isinya apa, dan sebagian lagi tampak memandangi hujan sambil sedikit melirik ke arah jamnya masing-masing, dengan raut yang sedikit bosan. Aku termasuk ke golongan yang terakhir itu.
25 menit. Sudah cukup lama untuk sekedar menunggu hujan yang bukannya makin reda tapi malah meningkat intensitasnya. Kembali kulayangkan pandangan pada butir air yang terjun bebas dari gumpalan awan diatas sana. Dari kejauhan kuliahat sekelompok anak SMP lengkap dengan seragamnya berlarian ditengah hujan. Ada yang aneh pikirku. Bukan dengan seragamnya, namun pada senyum yang terpajang diwajah mereka, diselingi tawa yang sepertinya cukup lepas. Tiga dari enam anak tersebut berjalan dengan tanpa alas kaki, kutebak mereka menyimpannya didalam tas, berharap besok bisa kembali digunakan dalam kondisi kering.
Semakin dekat mereka, semakin aku melihat diriku didalam kelompok tersebut. Aku pada 9-10 tahun lalu, yang berjalan dengan bahagia didalam hujan, bersama teman-teman yang kebetulan memiliki rumah yang searah jalan pulangnya denganku. Bebas, ringan tanpa beban. Hal terberat yang terpikir paling hanya berkisar pada "akan pakai baju apa aku besok?" atau "bagaimaina mengeringkan sepatu yang basah ini dalam satu malam?" . Selebihnya menikmati dinginnya hujan dengan bersengaja melambatkan langkah atau berhenti cukup lama beberapa kali, agar waktu yang dibutuhkan untuk sampai menjadi lebih panjang.
Terus kuperhatikan langkah anak-anak tersebut, sampai didepan sebuah halte mereka kemudian berpisah, lima masuk kedalam sebuah gang perumahan, sedangkan seorang lainnya yang terpaksa harus terpisah, berlari sangat cepat. Tampaknya hujan memang dia nikmati, namun saat bersama dengan teman tentu lebih asik, sehingga saat dia terpisah sendiri, hal utama yang ada dipikirannya adalah bagaimana untuk dapat sampai secepat mungkin di rumahnya yang hangat.
Hujan masih sederas 10 menit yang lalu saat gerombolan anak-anak smp tadi lewat dihadapanku. Aku masih merenung, membayangkan waktu yang sempat kuhabiskan, persis seperti anak-anak SMP tadi.
Dari arah yang sama dengan berasalnya anak-anak tadi kemudian aku melihat seorang bapak tua, punggungnya memanggul sebuah plastik hitam besar, sedang tangan kirinya mengangkat tiga benda bewarna-warni. Bapak itu tampak berjalan ke arah tempat manusia ramai berteduh ini. Setelah cukup dekat, baru kusadari ternyata yang dipegang oleh bapak tersebut adalah jas hujan. Tak hanya dipegang, tapi juga dijualnya. Ditawarkannya pada setiap orang yang berada disana, satu-persatu. Kulihat dia lebih teliti, dia basah kuyup dan terlihat kedinginan. Dari percakapannya dengan orang yang berada diseberangku saat itu, aku tau dia sudah berjalan sekitar setengah jam lebih, dari arah Baltos dalam hujan yang deras ini. Itu berarti dia sudah menempuh lebih dari 1,5 kilometer untuk sampai kesini.
Pikiranku yang tadi fokus untuk mengulang ingatan 10 tahunan lalu, kemudian terusik. Muncul beberapa pertanyaan dibenakku, "Apakah bapak ini tidak kedinginan? Sudah berapakah jas hujan yang laku terjual? Apakah ini adalah pekerjaan tetapnya?", dll.
Kembali kulihat bapak tersebut yang kali ini sudah berada dibelakangku, sehingga aku harus membalikkan badan untuk sekedar melihatnya. Dia tampak sibuk membuka plastik yang sepertinya berisi uang. Ternyata tepat pilihannya untuk kesini, kulihat jas hujan yang dijualnya cukup laku, sehingga kantong plastik besar yang diangkutnya tersebut bisa cukup berkurang massanya. Setelah memastikan tidak ada yang akan membeli dagangnya lagi, kemudian kulihat dia menyeberang jalan. Oh, disana ada halte yang menjadi tempat berteduh beberapa pengendara motor juga. Cukup cepat dia berjalan, kutebak dalam hatinya berharap-harap agar dagangannya pun laku disana.
Dua hal yang berbeda namun memiliki kesamaan kulihat ditempat yang sama, diwaktu yang tidak jauh berbeda. Kumpulan anak SMP yang bermain hujan tanpa beban dan bahkan berjalan tanpa alas kaki dengan cueknya. Kemudian seorang bapak cukup tua yang terlihat kedinginan dalam kuyubnya, memaksakan diri berhujan-hujan, karena sadar ada jiwa lain yang harus dihidupinya. Perbedaan keduanya terdapat pada usianya yang terpaut jauh. Usia yang kemudian memberi sebuah proses dalam kehidupan, menguatkan pundak seseorang, dan kemudian juga yang menaruh beban tambahan diatasnya. Sebagai manusia, aku menyadari itu. Bahwa, semakin usiaku bertambah, akan semakin beragam hal yang menjadi tanggung jawabku. Jumlah dan bobotnya akan bertambah.
Namun, terdapat persamaan yang kulihat dari mereka. Mereka ceria. Gerombolan anak-anak SMP yang tertawa dibawah hujan sambil menikmatinya, dan seorang bapak tua yang tersenyum ditengah hujan, menyadari dagangannya yang laku terjual dan berharap akan terus begitu, sehingga dia bisa sedikit melebihkan makanan bagi keluarganya yang mungkin sudah cukup lama tidak merasakan hal tersebut.
Hujan membawa sebuah keceriaan bagi mereka. Dalam bentuk yang berbeda tentunya.
Begitulah hidup. Dalam keabstrakannya, memberi pola yang membingungkan, namun adil. Umur yang muda memang ringan bebannya, namun bukan berarti akan bertahan selamanya. Usia akan terus bertambah, hidup akan berlanjut. Beragam hal akan muncul, termasuk beban yang bertambah. Namun, bukan berarti keceriaan akan direnggutnya. Ia hanya berubah bentuk. Jumlahnya pun tidak akan berkurang, selama kita menikmatinya dengan rasa syukur.
Ah, aku selalu suka hujan, dalam butirnya yang jatuh ia akan membawa cerita yang beragam. Hujan hari ini memberiku perenungan yang lumayan dalam. Bukan hanya sekedar basah dipakaian dan waktu yang berkurang. Namun juga perenungan mengenai usia dan beban yang sepaket bersamanya, serta adilnya hidup yang memberi sukacita dalam berbagai bentuk.
Beberapa orang disekitarku tampak bergegas mengambil motornya. Kulihat tinggal sedikit rintik hujan yang menurutku tidak akan cukup untuk membuatku kuyub sampai ditujuan. Kulirik jam ditangan kiriku. Sudah 60 menit aku disini. Sudah 60 menit hujan membersihkan udara kota yang mungkin sudah cukup kotor dari aktivitas kendaraan sehari ini. Sudah 60 menit manusia-manusia yang saling tak mengenal ini berkumpul dalam kumpulan yang terbentuk oleh hujan 60 menit.
Kuputuskan akan menuliskan ini nanti, saat aku sudah berada dikamar dan malam sudah mulai larut. Kuambil juga foto untuk dapat melengkapi tulisanku itu agar aku tidak lupa sudah pernah berpikir dan merenung ditempat itu, dibawah hujan 60 menit.
***
Bandung, 28/03/19.
Kuputuskan menepi disebuah gerbang masuk sebuah kantor yang cukup besar dan tentunya teduh. Sudah terdapat puluhan motor terparkir didepannya, memaksaku memarkirkan motorku sedikit lebih ketengah bahu jalan. Hujan siang itu sangat deras, cukup untuk mengalirkan debit air yang besar dan menutupi permukaan-permukaan yang sedikit lebih rendah dibanding sekitarnya.
Kupilih tempat yang agak tinggi, agar sepatuku aman dari genangan air tersebut. Semakin lama tempat tersebut semakin ramai saja, dan sekilas jalanan yang tadinya penuh kendaraan tampak menjadi sangat sepi, hanya dua tiga mobil melintas dalam beberapa detik, ya paling tidak cukup lengang untuk sebuah jalan protokol di kota ini.
Hujan tak kunjung berhenti, setelah kulirik jam ditanganku, ternyata sudah nyaris 15 menit aku berada disana, bersama puluhan manusia-manusia yang tak kukenal yang tidak sengaja terkumpul akibat hujan siang ini. Hujan semakin deras saja, cuaca semakin dingin seperti biasanya saat kota ini diguyur hujan. Kuputar pandanganku ke sekeliling yang ternyata kuabaikan dari tadi. Cukup beragam ternyata manusia-manusia disekitarku ini, mahasiswa, pekerja, ojek online dan penumpangnya, dll. Pun dengan bawaanya, dari tas biasa, sampai sarang burung dan vacum cleaner. Ya vacum cleaner, tapi kuputuskan untuk tak peduli dan memikirkannya. Diantara mereka ada yang berbincang dengan teman yang pergi bersamanya, ada yang sibuk memainkan telepon genggamnya tak tahu isinya apa, dan sebagian lagi tampak memandangi hujan sambil sedikit melirik ke arah jamnya masing-masing, dengan raut yang sedikit bosan. Aku termasuk ke golongan yang terakhir itu.
25 menit. Sudah cukup lama untuk sekedar menunggu hujan yang bukannya makin reda tapi malah meningkat intensitasnya. Kembali kulayangkan pandangan pada butir air yang terjun bebas dari gumpalan awan diatas sana. Dari kejauhan kuliahat sekelompok anak SMP lengkap dengan seragamnya berlarian ditengah hujan. Ada yang aneh pikirku. Bukan dengan seragamnya, namun pada senyum yang terpajang diwajah mereka, diselingi tawa yang sepertinya cukup lepas. Tiga dari enam anak tersebut berjalan dengan tanpa alas kaki, kutebak mereka menyimpannya didalam tas, berharap besok bisa kembali digunakan dalam kondisi kering.
Semakin dekat mereka, semakin aku melihat diriku didalam kelompok tersebut. Aku pada 9-10 tahun lalu, yang berjalan dengan bahagia didalam hujan, bersama teman-teman yang kebetulan memiliki rumah yang searah jalan pulangnya denganku. Bebas, ringan tanpa beban. Hal terberat yang terpikir paling hanya berkisar pada "akan pakai baju apa aku besok?" atau "bagaimaina mengeringkan sepatu yang basah ini dalam satu malam?" . Selebihnya menikmati dinginnya hujan dengan bersengaja melambatkan langkah atau berhenti cukup lama beberapa kali, agar waktu yang dibutuhkan untuk sampai menjadi lebih panjang.
Terus kuperhatikan langkah anak-anak tersebut, sampai didepan sebuah halte mereka kemudian berpisah, lima masuk kedalam sebuah gang perumahan, sedangkan seorang lainnya yang terpaksa harus terpisah, berlari sangat cepat. Tampaknya hujan memang dia nikmati, namun saat bersama dengan teman tentu lebih asik, sehingga saat dia terpisah sendiri, hal utama yang ada dipikirannya adalah bagaimana untuk dapat sampai secepat mungkin di rumahnya yang hangat.
Hujan masih sederas 10 menit yang lalu saat gerombolan anak-anak smp tadi lewat dihadapanku. Aku masih merenung, membayangkan waktu yang sempat kuhabiskan, persis seperti anak-anak SMP tadi.
Dari arah yang sama dengan berasalnya anak-anak tadi kemudian aku melihat seorang bapak tua, punggungnya memanggul sebuah plastik hitam besar, sedang tangan kirinya mengangkat tiga benda bewarna-warni. Bapak itu tampak berjalan ke arah tempat manusia ramai berteduh ini. Setelah cukup dekat, baru kusadari ternyata yang dipegang oleh bapak tersebut adalah jas hujan. Tak hanya dipegang, tapi juga dijualnya. Ditawarkannya pada setiap orang yang berada disana, satu-persatu. Kulihat dia lebih teliti, dia basah kuyup dan terlihat kedinginan. Dari percakapannya dengan orang yang berada diseberangku saat itu, aku tau dia sudah berjalan sekitar setengah jam lebih, dari arah Baltos dalam hujan yang deras ini. Itu berarti dia sudah menempuh lebih dari 1,5 kilometer untuk sampai kesini.
Pikiranku yang tadi fokus untuk mengulang ingatan 10 tahunan lalu, kemudian terusik. Muncul beberapa pertanyaan dibenakku, "Apakah bapak ini tidak kedinginan? Sudah berapakah jas hujan yang laku terjual? Apakah ini adalah pekerjaan tetapnya?", dll.
Kembali kulihat bapak tersebut yang kali ini sudah berada dibelakangku, sehingga aku harus membalikkan badan untuk sekedar melihatnya. Dia tampak sibuk membuka plastik yang sepertinya berisi uang. Ternyata tepat pilihannya untuk kesini, kulihat jas hujan yang dijualnya cukup laku, sehingga kantong plastik besar yang diangkutnya tersebut bisa cukup berkurang massanya. Setelah memastikan tidak ada yang akan membeli dagangnya lagi, kemudian kulihat dia menyeberang jalan. Oh, disana ada halte yang menjadi tempat berteduh beberapa pengendara motor juga. Cukup cepat dia berjalan, kutebak dalam hatinya berharap-harap agar dagangannya pun laku disana.
Dua hal yang berbeda namun memiliki kesamaan kulihat ditempat yang sama, diwaktu yang tidak jauh berbeda. Kumpulan anak SMP yang bermain hujan tanpa beban dan bahkan berjalan tanpa alas kaki dengan cueknya. Kemudian seorang bapak cukup tua yang terlihat kedinginan dalam kuyubnya, memaksakan diri berhujan-hujan, karena sadar ada jiwa lain yang harus dihidupinya. Perbedaan keduanya terdapat pada usianya yang terpaut jauh. Usia yang kemudian memberi sebuah proses dalam kehidupan, menguatkan pundak seseorang, dan kemudian juga yang menaruh beban tambahan diatasnya. Sebagai manusia, aku menyadari itu. Bahwa, semakin usiaku bertambah, akan semakin beragam hal yang menjadi tanggung jawabku. Jumlah dan bobotnya akan bertambah.
Namun, terdapat persamaan yang kulihat dari mereka. Mereka ceria. Gerombolan anak-anak SMP yang tertawa dibawah hujan sambil menikmatinya, dan seorang bapak tua yang tersenyum ditengah hujan, menyadari dagangannya yang laku terjual dan berharap akan terus begitu, sehingga dia bisa sedikit melebihkan makanan bagi keluarganya yang mungkin sudah cukup lama tidak merasakan hal tersebut.
Hujan membawa sebuah keceriaan bagi mereka. Dalam bentuk yang berbeda tentunya.
Begitulah hidup. Dalam keabstrakannya, memberi pola yang membingungkan, namun adil. Umur yang muda memang ringan bebannya, namun bukan berarti akan bertahan selamanya. Usia akan terus bertambah, hidup akan berlanjut. Beragam hal akan muncul, termasuk beban yang bertambah. Namun, bukan berarti keceriaan akan direnggutnya. Ia hanya berubah bentuk. Jumlahnya pun tidak akan berkurang, selama kita menikmatinya dengan rasa syukur.
Ah, aku selalu suka hujan, dalam butirnya yang jatuh ia akan membawa cerita yang beragam. Hujan hari ini memberiku perenungan yang lumayan dalam. Bukan hanya sekedar basah dipakaian dan waktu yang berkurang. Namun juga perenungan mengenai usia dan beban yang sepaket bersamanya, serta adilnya hidup yang memberi sukacita dalam berbagai bentuk.
Beberapa orang disekitarku tampak bergegas mengambil motornya. Kulihat tinggal sedikit rintik hujan yang menurutku tidak akan cukup untuk membuatku kuyub sampai ditujuan. Kulirik jam ditangan kiriku. Sudah 60 menit aku disini. Sudah 60 menit hujan membersihkan udara kota yang mungkin sudah cukup kotor dari aktivitas kendaraan sehari ini. Sudah 60 menit manusia-manusia yang saling tak mengenal ini berkumpul dalam kumpulan yang terbentuk oleh hujan 60 menit.
Kuputuskan akan menuliskan ini nanti, saat aku sudah berada dikamar dan malam sudah mulai larut. Kuambil juga foto untuk dapat melengkapi tulisanku itu agar aku tidak lupa sudah pernah berpikir dan merenung ditempat itu, dibawah hujan 60 menit.
***
Bandung, 28/03/19.
Komentar
Posting Komentar